Bab I
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah hal yang penting dalam hidup
seorang manusia. Bagaimana seorang individu dididik akan memengaruhi seluruh
arah hidupnya. Namun, pengaruh pendidikan tidak sampai pada satu individu itu
saja melainkan berpengaruh pada kualitas kehidupan satu bangsa. Bangsa yang
tidak memperhatikan pendidikan rakyatnya adalah bangsa yang sulit berkembang.
Maka kita melihat, berbagai kebudayaan tinggi di seluruh dunia menghasilkan
pemikiran-pemikiran filsafat yang implikasinya sampai kepada berbagai aspek
kehidupan manusia, dan juga tentunya kepada dunia pendidikan.
Pengaruh filsafat kepada pendidikan tidak dapat
dihindarkan. Filsafat memengaruhi cara pandang seseorang terhadap dunia dan
alam sekitarnya dan juga akan memengaruhi tindak-tanduknya. Maka cara seorang
guru, atau cara sebuah sekolah mendidik murid-muridnya pasti berdasarkan atas
filsafat tertentu, disadari ataupun tidak. Filsafat-filsafat yang agung juga
bukan hanya memengaruhi satu-dua orang saja, tetapi memengaruhi bangsa-bangsa
sepanjang zaman. Filsafat itu sendiri tidak pernah muncul begitu saja, tetapi
selalu merupakan respon suatu zaman terhadap kebudayaan atau pemikiran dari
zaman sebelumnya. Bagaimana pun, apa yang kita tahu hari ini hampir seluruhnya
adalah hasil dari apa yang diajarkan oleh generasi kita sebelumnya. Maka sama
seperti dunia pendidikan tidak dapat menghindar dari filsafat, tidak ada
manusia yang dapat menghindar dari pengaruh generasi di atasnya. Apa yang kita
tahu dan apa yang kita buat, dibangun di atas dasar apa yang
pendahulu-pendahulu kita telah pikirkan dan buat terlebih dahulu.
Namun seringkali sebagai generasi yang menganggap
diri sendiri sebagai generasi yang paling maju, kreatif, dan canggih,
seringkali kita sulit diajak belajar dari masa lampau. Kita tidak selalu
menyukai segala sesuatu yang sudah “lama” dan sudah diwariskan turun-temurun.
Kita menyebut nilai-nilai yang demikian sebagai “kolot” atau “kuno”, dan sudah
tidak sesuai lagi dengan diri kita. Lalu kita membuangnya begitu saja, tanpa
menyadari bahwa apa yang kita miliki hari ini, dapat kita miliki karena diwariskan kepada kita. Seperti Hegel,
seorang filsuf Jerman ternama, katakan: “What experience
and history teach is this — that nations and governments have never learned
anything from history, or acted upon any lessons they might have drawn from it.” (Terjemahan:
Apa yang pengalaman dan sejarah ajarkan kepada kita adalah ini – bahwa bangsa-bangsa
dan pemerintah-pemerintah tidak pernah belajar apapun dari sejarah, ataupun
bertindak atas dasar prinsip-prinsip yang dapat ditarik darinya.) Cara-cara
lama mungkin bukan cara-cara yang terbaik, tetapi kita harus ingat bahwa kita
selalu dapat belajar sesuatu darinya. Bukan hanya belajar, kita diberikan
tanggung jawab sebagai generasi berikutnya untuk mempertahankan nilai-nilai
yang baik dan memperbaiki apa yang tidak baik, untuk mempertahankan keberadaan
dan kehidupan bangsa kita sendiri di tengah-tengah dunia.
Oleh karena itu, dalam rangka belajar dari sejarah dan merayakan semua
hasil kebudayaan yang generasi sebelumnya ajarkan kepada kita, mari kita
melihat kepada sebuah filsafat pendidikan yang menghargai bijaksana dari
nilai-nilai budaya yang sudah diwariskan turun-temurun dibandingkan nilai-nilai
budaya kontemporer yang baru saja “lahir” dan belum teruji: filsafat pendidikan
Esensialisme.
Makalah ini akan membahas beberapa hal yang berkaitan dengan sejarah
munculnya filsafat pendidikan esensialisme, diikuti dengan prinsip-prinsip yang
menjadi dasar penerapan pendidikan Esensialis. Pendidikan Esensialis juga
dikenal sebagai salah satu aliran pendidikan yang bersifat teacher-centered, maka dalam makalah ini juga akan dibahas peran
guru dan sekolah dalam penerapannya. Adapun setiap aliran pendidikan memiliki
kekuatan dan kelemahannya, maka pada bagian akhir Bab II akan dibahas
tanggapan-tanggapan terhadap pendidikan Esensialis, baik yang bersifat positif
maupun negatif.
Akhir kata, kelompok kami berharap tugas yang dibuat untuk mata kuliah
Filsafat Ilmu ini dapat berguna bagi para pendidik dan calon pendidik yang
berjuang untuk memberikan pendidikan yang berkualitas kepada generasi
selanjutnya. Kami juga memohon maaf jika ada kekeliruan ataupun
kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam makalah ini.
Tim Penulis
Jakarta, November 2012
Bab II
FILSAFAT PENDIDIKAN ESENSIALISME
A.
Latar
Belakang
Essensialisme merupakan filsafat pendidikan konvensional
yang mengkritik trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Aliran ini dipelopori
oleh William Chandler Bagley, tetapi ada banyak tokoh lain yang mendukung
aliran ini. Tokoh-tokoh dari aliran ini antara lain: E. D. Hirsch, Thomas
Briggs, Frederick Breed, James D. Kroener, Isaac L. Kandell, H. G. Rickover,
Paul Copperman, dan Theodore Sizer.
Gerakan Esensialis muncul pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1938 di
kota Atlantic City, New Jersey dalam sebuah pertemuan yang disebut The Essentialist's Committee for Advancement
of Education, yang bertujuan untuk mereformasi sistem pendidikan yang sudah
berjalan. Aliran ini muncul sebagai respon atas trend pendidikan progresif di
sekolah-sekolah. Gerakan pendidikan progresif yang marak muncul pada tahun
1920-an dan 1930-an dianggap merusak standar-standar intelektual dan moral di
antara kaum muda. Di dalam buku An
Introduction to the Philosophy of Education, Michael John Demiaskevich membandingkan
pandangan kaum progresif dalam dunia pendidikan, atau yang disebut sebagai
kelompok The Progressive Education
Association, dengan kaum Esensialis yang dipelopori Bagley. Demiaskvich menggambarkan
aliran progresif sebagai pandangan yang menyebarkan perubahan-perubahan yang
bersifat hedonistik dan “esensialisme”, yang istilahnya muncul pertama kali di
buku ini pula, digambarkan sebagai pandangan yang menekankan tanggung jawab
moral seseorang atas tindakan-tindakannya sendiri serta mengarahkan seseorang
kepada prinsip-prinsip tingkah laku yang sifatnya lebih permanen.
Bagley, salah satu pelopor aliran ini, yang juga adalah seorang
guru besar pada Teacher College, Columbia University, menekan pentingnya nilai
ilmu pengetahuan demi ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan hanya sebagai
instrument. Beliau juga mengkritisi rekan-rekannya dalam dunia pendidikan
publik di Amerika Serikat yang dianggapnya gagal di dalam menekankan pentingnya
studi akademik yang sistematis.
Pada April 1938, Bagley menerbitkan jurnal The
Essentialist's Platform di mana beliau menjelaskan tiga poin penting
Esensialisme.
·
Pertama, beliau
menjelaskan hak seorang siswa untuk dididik oleh guru yang memiliki pendidikan
tinggi dan memiliki pengetahuan kebudayaan yang baik.
·
Kedua, beliau
mendiskusikan pentingnya mengajarkan kepada para siswa idealisme-idealisme
komunitasnya.
·
Ketiga, Bagley
menuliskan pentingnya akurasi, ketuntasan, dan usaha kerja seorang siswa di
dalam kelas. Berkenaan dengan sekolah, Bagley yakin bahwa fungsi utama sekolah
adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah kepada generasi muda.
Untuk mengangkat filsafat Esensialisme, Bagley dan
rekan-rekannya kemudian juga mendanai penerbitan sebuah jurnal pendidikan yang
berjudul School and Society. Beberapa
buku lain yang juga ditulis untuk mengkritisi pendidikan Amerika Serikat dan
menuntut pendekatan Esensialis pada pendidikan sekolah antara lain: James D. Koerner,
The Case for Basic Education (1959);
H. G. Rickover, Education and Freedom
(1959); dan Paul Copperman, The Literacy
Hoax : The Decline of Reading, Writing
and Learning in the Public School and What We Can Do About It ( 1978).
Filsafat Esensialisme ini kemudian berkembang dan
bercabang menjadi Neo-esensialisme. Neo-esensialisme berkembang di tahun
1980-an sebagai respon terhadap Esensialisme, mengkritisi pandangan tersebut
dan akhirnya menjadi rujukan solusi bagi masalah pendidikan Amerika Serikat
pada tahun 1970-an.
B.
Prinsip-prinsip
Pendidikan Esensialisme
Pendidikan Esensialisme didirikan atas dasar prinsip
nilai-nilai kebudayaan yang sudah ada sejak awal peradaban umat manusia, yang
sudah terbukti kebenarannya dan tahan uji.
Pendidikan sebaiknya tidak didirikan atas dasar
nilai-nilai yang tidak stabil. Fleksibilitas adalah dasar pijak yang kurang
tepat karena dapat menimbulkan pandangan-pandangan yang berbeda-beda dan
berubah-ubah, yang dapat berujung pada ketidakstabilan dan hilangnya arah
pendidikan.
Pendidikan haruslah bersendikan nilai-nilai yang
sudah tahan uji dan memiliki tata aturan yang jelas sehingga dapat mendatangkan
kestabilan. Nilai-nilai yang dianggap dapat memenuhi adalah yang berasal dari
kebudayaan dan filsafat yang muncul relatif selama kurun waktu empat abad
belakangan ini, terhitung sejak zaman Renaisans, sebagai pangkal timbulnya
pandangan Esensialis awal.
Tentang perubahan sendiri, filsafat esensialisme
berpandangan bahwa perubahan merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat diubah
dalam kehidupan sosial dan mereka mengakui evolusi manusia dalam sejarah.
Perubahan terjadi sebagai kemampuan intelektual manusia yang mampu mengenal
kebutuhan untuk mengadakan amandemen dalam cara-cara bertindak, berorganisasi,
dan fungsi sosial.
a.
Tujuan
Pendidikan
Tujuan pendidikan Esensialisme adalah menanamkan
pada siswa-siswanya esensi-esensi dari ilmu pengetahuan akademik, karakter
patriotis, dan pengembangan karakter melalui pendekatan-pendekatan tradisional (back to basic). Pendidikan Esensialis mempersiapkan
manusia untuk hidup dan untuk meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah, melalui
pengetahuan-pengetahuan inti yang telah terakumulasi dan telah bertahan dalam
kurun waktu yang lama, serta mempertahankan model kehidupan yang telah teruji
oleh waktu dan dikenal oleh semua masyarakat. Kebijaksanaan dari kebudayaan
masyarakat beradab yang telah terakumulasi tersebut adalah ilmu yang harus
dikuasai oleh guru dan menjadi beban guru untuk kemudian ditrasfer kepada
siswanya.
Pendidikan Esensialisme mengharapkan ketika seorang
siswa telah lulus dari pendidikannya mereka akan memiliki:
·
keterampilan-keterampilan
dasar,
·
pemahaman dan struktur
pengetahuan yang luas dan melimpah,
·
disiplin diri,
·
cara berpikir yang
praktis, dan
·
kemampuan untuk
menerapkan pengetahuan-pengetahuannya dalam dunia nyata.
b.
Kurikulum
Esensialisme berpandangan bahwa ada ilmu pengetahuan
yang bersifat umum dan inti yang harus diberikan kepada siswa dengan cara yang
disiplin dan sistematis. Program pendidikan Esensialisme dilakukan secara
progresif, dari keterampilan sederhana sampai kepada keterampilan yang lebih
kompleks.
Usaha untuk menanamkan esensi-esensi pengetahuan
yang sifatnya akademis ini pada siswa dilakukan dengan pendekatan yang disebut Back to Basic. Gerakan Back to Basic yang dimulai di
pertengahan tahun 1970-an merupakan dorongan untuk menerapkan program-program
Esensialis di sekolah-sekolah. Pendekatan secara tradisional ini dilakukan
dengan melatih pikiran, menumbuhkan kemampuan berpikir logis, dan menanamkan
sikap berbudaya seperti pada umumnya.
Inti dari kurikulum pendidikan
Esensialisme adalah ilmu pengetahuan, keterampilan, dan prestasi akademik
dengan penekanan pada pengajaran standar moral dan intelektual. Kurikulum Esensialisme
berpusat pada mata pelajaran (subject-matter
centered) dan area-area yang tercakup adalah pengetahuan lingkungan
sekitar, hukum-hukum dasar alam, dan disiplin-disiplin ilmu yang dapat
menumbuhkembangkan kehidupan manusia yang terdidik dan bahagia. Siswa juga
dididik untuk bersikap disiplin, bekerja keras, dan menghormati otoritas.
Keterampilan-keterampilan inti yang harus dikuasai
siswa adalah menulis, membaca, berbicara, dan berhitung. Kemampuan-kemampuan
ini kemudian menjadi dasar untuk seorang siswa memperluas pengetahuannya dalam
matematika, sains, sejarah, humaniora, seni, bahasa dan sastra. Area-area
pendidikan yang bersifat lebih progresif juga dapat diajarkan untuk
menyeimbangkan program pendidikannya, sehingga lebih sesuai dengan konteks dan
kebutuhan zaman. Sebagai contoh, mata pelajaran yang belakangan muncul dan juga
diajarkan adalah ilmu komputer.
c.
Peran
Sekolah dan Guru
Peranan sekolah
adalah memelihara dan menyampaikan warisan budaya dan sejarah pada
generasi muda dewasa ini, melalui hikmat dan pengalaman yang terakumulasi dari
disiplin tradisional. Kontribusi sekolah terutama bagaimana merancang sasaran
mata pelajaran sedemikian rupa sehingga tujuan pelajaran dapat dipertanggung
jawabkan yang akhirnya dapat mempersiapkan manusia untuk hidup.
Sekolah mempunyai fungsi yang bersifat praktis,
yaitu mempersiapkan siswanya menjadi anggota masyarakat yang berguna. Pendidikan
sekolah harus membekali siswa-siswanya dengan pengajaran yang logis dan
objektif, yang mempersiapkan mereka untuk hidup bermasyarakat. Tugas sebuah
sekolah “hanyalah” melatih siswa untuk terampil dalam kemampuan-kemampuan
dasar, seperti membaca, menulis, berbicara, berhitung, dan berpikir secara
logis sesuai dengan realita objektif, yaitu sesuai dengan kebutuhan dunia di
luar sana. Oleh karena itu, sekolah tidak seharusnya memengaruhi atau
menetapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat subjektif (misalnya, pandangan
politik dan agama) pada siswanya.
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam
pendidikan Esensialisme. Guru dianggap sebagai seseorang yang menguasai
lapangan subyek khusus dan merupakan model yang sangat baik untuk digugu dan
ditiru. Guru berperan sebagai pemimpin, pelaksana, dan penerjemah dalam proses
pembelajaran. Kurikulum dan lingkungan belajar sepenuhnya dirancang dan disusun
oleh guru. Kita dapat melihat, bahwa pendidikan Esensialisme adalah model
pendidikan yang berpusat pada guru (teacher-centered).
Guru adalah pusat di dalam kelas dan bertanggung
jawab, bukan hanya dalam memberikan pengajaran, tetapi juga di dalam menegakkan
peraturan. Ketertiban dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kelas
karena proses belajar tidak akan dapat berlangsung jika kelas tidak tertib dan
ribut. Maka seorang guru harus dapat menunjukkan sikap tegas dan disiplin
kepada murid-muridnya. Ia haruslah dapat memegang kendali atas kelasnya dan
membentuk cara murid-muridnya bersikap dalam kelas, cara yang dapat ditempuh
misalnya adalah dengan memberikan penguatan (reinforcement)
berupa imbalan (reward) dan hukuman (punishment).
Dalam pembentukan karakter, guru bertugas untuk
mendorong siswa tetap bersikap disiplin, aktif bekerja, dan produktif, serta
mengurangi sikap agresi dan acuh tak acuh, yang dapat mengurangi produktivitas
siswa.
Dengan demikian, seorang guru dalam filsafat
pendidikan Esensialisme haruslah seorang individu yang memiliki kualitas yang
sangat baik, memiliki sikap menghargai proses belajar dan perkembangan.
C.
Core Knowledge Schools
Core Knowledge
Schools adalah sekolah-sekolah yang didirikan
dengan menerapkan filsafat pendidikan Esensialisme. Pendiri dari gerakan Core Knowledge Schools ini adalah Eric Donald Hirsch, Jr., seorang pakar
pendidikan berkebangsaan Amerika Serikat. Core
Knowledge Foundation didirikan oleh
Hirsch pada tahun 1986 dengan visi untuk memberikan kualitas pendidikan yang
baik secara merata kepada semua anak, dari berbagai latar belakang, sejak dini.
Pendekatan yang dilakukan oleh Core Knowledge adalah dengan menerapkan pendidikan umum secara
bertahap, tingkat demi tingkat. Anak-anak diharapkan dapat membangun
pengetahuannya sedikit demi sedikit. Hal ini dipandang sebagai sistem
pendidikan yang lebih stabil dan adil bagi anak-anak usia dini dengan latar belakang
yang berbeda karena adanya kurikulum yang lebih terstruktur, spesifik, dan
bertahap.
Kurikulum Core
Knowledge dimulai dari Taman Kanak-Kanak sampai dengan kelas 8. Penyusunan
kurikulum ini ditekankan pada hal-hal penting yang harus dikuasai oleh siswa
untuk menjadi seorang individu yang berbudaya. Kurikulum Core Knowledge dikerjakan dengan asumsi bahwa anak-anak mampu
belajar dengan membangun pengetahuannya yang baru di atas dasar pengetahuan
yang sudah mereka miliki, yang didapatnya dari pengalaman langsung atau
pengajaran. Maka kurikulum Core Knowledge
disusun secara koheren dan berkesinambungan dari satu tingkatan ke tingkatan
yang lain. Setiap anak akan mendapat pengajaran-pengajaran dasar sains,
prinsip-prinsip dasar pemerintahan, peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah
dunia, elemen-elemen esensial dari matematika, karya-karya agung seni rupa dan
musik dari seluruh dunia, juga literatur-literatur (puisi dan prosa) yang sudah
diturunkan dari generasi ke generasi.
Kurikulum Core
Knowledge memberikan alur yang jelas untuk keseluruhan tingkatan dari
prasekolah sampai kelas 8, dan juga tujuan pembelajaran yang harus dicapai
untuk setiap tingkatannya sehingga pengetahuan, bahasa, dan keterampilan siswa
dibangun secara kumulatif dari tahun ke tahun. Pendekatan seperti ini akan
memperlengkapi siswa dengan keterampilan dan dasar pengetahuan yang kuat untuk
mempelajari ilmu dan keterampilan yang baru di tingkatan selanjutnya.
Pendekatan ini juga dinilai lebih efektif karena mengantisipasi kemungkinan
pengulangan-pengulangan materi yang tidak perlu ataupun lubang-lubang dalam
struktur pengetahuan yang diajarkan.
Walaupun sudah ada inti kurikulum yang baku,
pendekatan Core Knowledge memberikan
ruang kepada sekolah dan guru untuk menyusun beberapa aspek materi ajar sesuai
dengan konteks lokal-nasional dan kebutuhan siswa sekolah tersebut. Guru juga
diberikan kebebasan untuk menggunakan macam-macam teknik untuk mengajari konten
ilmu dan keterampilan yang sudah disusun kepada siswanya.
Core Knowledge
kurikulum ini sudah diterapkan di sekolah-sekolah pada banyak negara bagian
Amerika Serikat. 44% sekolah publik, 35% sekolah semi-publik atau charter, 15% sekolah swasta, dan 6%
sekolah parokial di Amerika Serikat sudah bekerja sama dengan Core Knowledge Foundation dan menerapkan kurikulumnya sejak April 2006.
Salah satu negara yang juga menerapkan sistem
pendidikan dengan Core Knowledge ini
adalah negara Inggris, dengan kerja sama yayasan pendidikan Civitas. Kerja sama
ini disebut juga Core Knowledge UK, dimana kurikulum Core Knowledge digunakan dengan beberapa
adaptasi terhadap kebudayaan nasional Inggris. Core Knowledge UK juga menerbitkan buku teksnya sendiri untuk
digunakan oleh sekolah-sekolahnya, yaitu seri What Your Year … Child Needs to Know. Buku ini memberikan tuntunan
kepada guru, orang tua, atau wali murid untuk menolong anak-anak mereka
berhasil di sekolah.
D.
Kritik
terhadap Esensialisme
a.
Kritik
positif
Filsafat pendidikan Esensialisme adalah filsafat
yang menumbuhkan stabilitas. Bentuk pendidikannya pun adalah bentuk pendidikan
yang sangat konsisten karena mengandalkan nilai-nilai budaya yang telah teruji
dan stabil. Pengajaran disiplin ilmunya juga dilakukan dengan metode yang
bersifat progresif (bertahap) dan konsisten sehingga siswa dapat membangun
struktur pengetahuannya sedikit demi sedikit dengan sistematis. Dengan adanya
program pendidikan yang mantap, pelaksanaan pendidikan tidak akan mudah
diombang-ambingkan oleh trend pendidikan yang muncul sementara waktu. Siswa
juga diarahkan menjadi warga masyarakat yang memiliki nasionalisme, berbudaya,
dan produktif.
b.
Kritik
negatif
Pendidikan Esensialisme dipandang terlalu berpusat
pada guru sehingga peran siswa dalam proses pembelajaran sering dipertanyakan.
Peran guru yang terlalu dominan dalam menyusun dan melaksanakan keseluruhan
proses pembelajaran dianggap dapat mematikan minat siswa terhadap proses
belajarnya sendiri. Siswa yang selalu berada dalam pengkondisian guru juga
dapat menjadi pasif, dalam arti hanya menerima informasi dan mengikuti saja
standar-standar yang ditetapkan oleh guru tanpa merasa memiliki relevansi atau
minat sama sekali. Juga muncul spekulasi bahwa penerapan pendidikan
Esensialisme yang menekankan pewarisan budaya dapat menghambat perkembangan budaya
karena dianggap mematikan kreativitas siswa.
Namun penelitian yang dilakukan terhadap hasil
belajar anak-anak di sekolah yang menerapkan kurikulum Core Knowledge di Inggris menunjukkan hasil yang baik secara
akademis, dimana hasil belajarnya berada atas rata-rata nasional (60% atau ke
atas), khususnya untuk anak-anak selain ras kulit putih. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa sistem pendidikan Core
Knowledge tampaknya berhasil meningkatkan pemerataan pendidikan. Sistem
pendidikan Esensialisme juga tidak selalu mematikan kreativitas siswa,
sebaliknya ada dampak-dampak positif terhadap kreativitas siswa di beberapa
area.
Bab
III
KESIMPULAN
Prinsip – prinsip pendidikan esensialisme adalah
sebagai berikut :
1. Pendidikan
tidak timbul begitu saja pada diri seorang siswa namun harus merupakan
merupakan usaha keras mereka.
2. Inisiatif
pendidikan ditekankan pada diri guru dan bukan pada diri siswa, sehingga guru dituntut
untuk memiliki kualitas dan penguasaan subjek pelajaran yang baik.
3. Inti
proses pendidikan adalah asimilasi dari mata pelajaran yang telah ditentukan.
Kurikulum diorganisasikan dan direncanakan dengan sistematis oleh sekolah dan
guru.
4. Metode-metode
tradisional yang bertautan dengan disiplin mental harus dipertahankan oleh
sekolah.
5. Tujuan
akhir dari pendidikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum yang
merupakan tuntutan demokrasi yang nyata.
Pengaruh baik dari pendidikan Esensialisme terhadap
dunia pendidikan adalah:
1. Penyajian
kembali materi kurikulum secara tegas.
2. Membedakan
program-program di sekolah secara esensial, baik secara konten maupun tingkatan.
3. Mengangkat
kembali wibawa guru dalam kelas yang telah kehilangan wibawanya oleh
progresivisme.
REFERENSI
Sadulloh, Uyoh. 2009. Pengantar
Filsafat Pendidikan. Alfabeta: Bandung.
en.wikipedia.org/wiki/Core_Knowledge_Foundation
http://www.coreknowledge.org/mimik/mimik_uploads/documents/31/CK_National_Study_2004.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar