Minggu, 13 Januari 2013

MAKALAH KELOMPOK CRISSI,ASIH,ARI,RINI,EVA



Bab I
PENDAHULUAN

Pendidikan adalah hal yang penting dalam hidup seorang manusia. Bagaimana seorang individu dididik akan memengaruhi seluruh arah hidupnya. Namun, pengaruh pendidikan tidak sampai pada satu individu itu saja melainkan berpengaruh pada kualitas kehidupan satu bangsa. Bangsa yang tidak memperhatikan pendidikan rakyatnya adalah bangsa yang sulit berkembang. Maka kita melihat, berbagai kebudayaan tinggi di seluruh dunia menghasilkan pemikiran-pemikiran filsafat yang implikasinya sampai kepada berbagai aspek kehidupan manusia, dan juga tentunya kepada dunia pendidikan.
Pengaruh filsafat kepada pendidikan tidak dapat dihindarkan. Filsafat memengaruhi cara pandang seseorang terhadap dunia dan alam sekitarnya dan juga akan memengaruhi tindak-tanduknya. Maka cara seorang guru, atau cara sebuah sekolah mendidik murid-muridnya pasti berdasarkan atas filsafat tertentu, disadari ataupun tidak. Filsafat-filsafat yang agung juga bukan hanya memengaruhi satu-dua orang saja, tetapi memengaruhi bangsa-bangsa sepanjang zaman. Filsafat itu sendiri tidak pernah muncul begitu saja, tetapi selalu merupakan respon suatu zaman terhadap kebudayaan atau pemikiran dari zaman sebelumnya. Bagaimana pun, apa yang kita tahu hari ini hampir seluruhnya adalah hasil dari apa yang diajarkan oleh generasi kita sebelumnya. Maka sama seperti dunia pendidikan tidak dapat menghindar dari filsafat, tidak ada manusia yang dapat menghindar dari pengaruh generasi di atasnya. Apa yang kita tahu dan apa yang kita buat, dibangun di atas dasar apa yang pendahulu-pendahulu kita telah pikirkan dan buat terlebih dahulu.
Namun seringkali sebagai generasi yang menganggap diri sendiri sebagai generasi yang paling maju, kreatif, dan canggih, seringkali kita sulit diajak belajar dari masa lampau. Kita tidak selalu menyukai segala sesuatu yang sudah “lama” dan sudah diwariskan turun-temurun. Kita menyebut nilai-nilai yang demikian sebagai “kolot” atau “kuno”, dan sudah tidak sesuai lagi dengan diri kita. Lalu kita membuangnya begitu saja, tanpa menyadari bahwa apa yang kita miliki hari ini, dapat kita miliki karena diwariskan kepada kita. Seperti Hegel, seorang filsuf Jerman ternama, katakan: “What experience and history teach is this — that nations and governments have never learned anything from history, or acted upon any lessons they might have drawn from it.” (Terjemahan: Apa yang pengalaman dan sejarah ajarkan kepada kita adalah ini – bahwa bangsa-bangsa dan pemerintah-pemerintah tidak pernah belajar apapun dari sejarah, ataupun bertindak atas dasar prinsip-prinsip yang dapat ditarik darinya.) Cara-cara lama mungkin bukan cara-cara yang terbaik, tetapi kita harus ingat bahwa kita selalu dapat belajar sesuatu darinya. Bukan hanya belajar, kita diberikan tanggung jawab sebagai generasi berikutnya untuk mempertahankan nilai-nilai yang baik dan memperbaiki apa yang tidak baik, untuk mempertahankan keberadaan dan kehidupan bangsa kita sendiri di tengah-tengah dunia.
Oleh karena itu, dalam rangka belajar dari sejarah dan merayakan semua hasil kebudayaan yang generasi sebelumnya ajarkan kepada kita, mari kita melihat kepada sebuah filsafat pendidikan yang menghargai bijaksana dari nilai-nilai budaya yang sudah diwariskan turun-temurun dibandingkan nilai-nilai budaya kontemporer yang baru saja “lahir” dan belum teruji: filsafat pendidikan Esensialisme.
Makalah ini akan membahas beberapa hal yang berkaitan dengan sejarah munculnya filsafat pendidikan esensialisme, diikuti dengan prinsip-prinsip yang menjadi dasar penerapan pendidikan Esensialis. Pendidikan Esensialis juga dikenal sebagai salah satu aliran pendidikan yang bersifat teacher-centered, maka dalam makalah ini juga akan dibahas peran guru dan sekolah dalam penerapannya. Adapun setiap aliran pendidikan memiliki kekuatan dan kelemahannya, maka pada bagian akhir Bab II akan dibahas tanggapan-tanggapan terhadap pendidikan Esensialis, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Akhir kata, kelompok kami berharap tugas yang dibuat untuk mata kuliah Filsafat Ilmu ini dapat berguna bagi para pendidik dan calon pendidik yang berjuang untuk memberikan pendidikan yang berkualitas kepada generasi selanjutnya. Kami juga memohon maaf jika ada kekeliruan ataupun kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam makalah ini.

Tim Penulis
Jakarta, November 2012



Bab II
FILSAFAT PENDIDIKAN ESENSIALISME
A.    Latar Belakang
Essensialisme merupakan filsafat pendidikan konvensional yang mengkritik trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Aliran ini dipelopori oleh William Chandler Bagley, tetapi ada banyak tokoh lain yang mendukung aliran ini. Tokoh-tokoh dari aliran ini antara lain: E. D. Hirsch, Thomas Briggs, Frederick Breed, James D. Kroener, Isaac L. Kandell, H. G. Rickover, Paul Copperman, dan Theodore Sizer.
Gerakan Esensialis muncul pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1938 di kota Atlantic City, New Jersey dalam sebuah pertemuan yang disebut The Essentialist's Committee for Advancement of Education, yang bertujuan untuk mereformasi sistem pendidikan yang sudah berjalan. Aliran ini muncul sebagai respon atas trend pendidikan progresif di sekolah-sekolah. Gerakan pendidikan progresif yang marak muncul pada tahun 1920-an dan 1930-an dianggap merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda. Di dalam buku An Introduction to the Philosophy of Education, Michael John Demiaskevich membandingkan pandangan kaum progresif dalam dunia pendidikan, atau yang disebut sebagai kelompok The Progressive Education Association, dengan kaum Esensialis yang dipelopori Bagley. Demiaskvich menggambarkan aliran progresif sebagai pandangan yang menyebarkan perubahan-perubahan yang bersifat hedonistik dan “esensialisme”, yang istilahnya muncul pertama kali di buku ini pula, digambarkan sebagai pandangan yang menekankan tanggung jawab moral seseorang atas tindakan-tindakannya sendiri serta mengarahkan seseorang kepada prinsip-prinsip tingkah laku yang sifatnya lebih permanen.
Bagley, salah satu pelopor aliran ini, yang juga adalah seorang guru besar pada Teacher College, Columbia University, menekan pentingnya nilai ilmu pengetahuan demi ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan hanya sebagai instrument. Beliau juga mengkritisi rekan-rekannya dalam dunia pendidikan publik di Amerika Serikat yang dianggapnya gagal di dalam menekankan pentingnya studi akademik yang sistematis.
Pada April 1938, Bagley menerbitkan jurnal The Essentialist's Platform di mana beliau menjelaskan tiga poin penting Esensialisme.
·         Pertama, beliau menjelaskan hak seorang siswa untuk dididik oleh guru yang memiliki pendidikan tinggi dan memiliki pengetahuan kebudayaan yang baik.
·         Kedua, beliau mendiskusikan pentingnya mengajarkan kepada para siswa idealisme-idealisme komunitasnya.
·         Ketiga, Bagley menuliskan pentingnya akurasi, ketuntasan, dan usaha kerja seorang siswa di dalam kelas. Berkenaan dengan sekolah, Bagley yakin bahwa fungsi utama sekolah adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah kepada generasi muda.
Untuk mengangkat filsafat Esensialisme, Bagley dan rekan-rekannya kemudian juga mendanai penerbitan sebuah jurnal pendidikan yang berjudul School and Society. Beberapa buku lain yang juga ditulis untuk mengkritisi pendidikan Amerika Serikat dan menuntut pendekatan Esensialis pada pendidikan sekolah antara lain: James D. Koerner, The Case for Basic Education (1959); H. G. Rickover, Education and Freedom (1959); dan Paul Copperman, The Literacy Hoax : The Decline of  Reading, Writing and Learning in the Public School and What We Can Do About It ( 1978).
Filsafat Esensialisme ini kemudian berkembang dan bercabang menjadi Neo-esensialisme. Neo-esensialisme berkembang di tahun 1980-an sebagai respon terhadap Esensialisme, mengkritisi pandangan tersebut dan akhirnya menjadi rujukan solusi bagi masalah pendidikan Amerika Serikat pada tahun 1970-an.

B.     Prinsip-prinsip Pendidikan Esensialisme
Pendidikan Esensialisme didirikan atas dasar prinsip nilai-nilai kebudayaan yang sudah ada sejak awal peradaban umat manusia, yang sudah terbukti kebenarannya dan tahan uji.
Pendidikan sebaiknya tidak didirikan atas dasar nilai-nilai yang tidak stabil. Fleksibilitas adalah dasar pijak yang kurang tepat karena dapat menimbulkan pandangan-pandangan yang berbeda-beda dan berubah-ubah, yang dapat berujung pada ketidakstabilan dan hilangnya arah pendidikan.
Pendidikan haruslah bersendikan nilai-nilai yang sudah tahan uji dan memiliki tata aturan yang jelas sehingga dapat mendatangkan kestabilan. Nilai-nilai yang dianggap dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang muncul relatif selama kurun waktu empat abad belakangan ini, terhitung sejak zaman Renaisans, sebagai pangkal timbulnya pandangan Esensialis awal.
Tentang perubahan sendiri, filsafat esensialisme berpandangan bahwa perubahan merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat diubah dalam kehidupan sosial dan mereka mengakui evolusi manusia dalam sejarah. Perubahan terjadi sebagai kemampuan intelektual manusia yang mampu mengenal kebutuhan untuk mengadakan amandemen dalam cara-cara bertindak, berorganisasi, dan fungsi sosial.

a.      Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Esensialisme adalah menanamkan pada siswa-siswanya esensi-esensi dari ilmu pengetahuan akademik, karakter patriotis, dan pengembangan karakter melalui pendekatan-pendekatan tradisional (back to basic). Pendidikan Esensialis mempersiapkan manusia untuk hidup dan untuk meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah, melalui pengetahuan-pengetahuan inti yang telah terakumulasi dan telah bertahan dalam kurun waktu yang lama, serta mempertahankan model kehidupan yang telah teruji oleh waktu dan dikenal oleh semua masyarakat. Kebijaksanaan dari kebudayaan masyarakat beradab yang telah terakumulasi tersebut adalah ilmu yang harus dikuasai oleh guru dan menjadi beban guru untuk kemudian ditrasfer kepada siswanya.
Pendidikan Esensialisme mengharapkan ketika seorang siswa telah lulus dari pendidikannya mereka akan memiliki:
·         keterampilan-keterampilan dasar,
·         pemahaman dan struktur pengetahuan yang luas dan melimpah,
·         disiplin diri,
·         cara berpikir yang praktis, dan
·         kemampuan untuk menerapkan pengetahuan-pengetahuannya dalam dunia nyata.

b.      Kurikulum
Esensialisme berpandangan bahwa ada ilmu pengetahuan yang bersifat umum dan inti yang harus diberikan kepada siswa dengan cara yang disiplin dan sistematis. Program pendidikan Esensialisme dilakukan secara progresif, dari keterampilan sederhana sampai kepada keterampilan yang lebih kompleks.
Usaha untuk menanamkan esensi-esensi pengetahuan yang sifatnya akademis ini pada siswa dilakukan dengan pendekatan yang disebut Back to Basic. Gerakan Back to Basic yang dimulai di pertengahan tahun 1970-an merupakan dorongan untuk menerapkan program-program Esensialis di sekolah-sekolah. Pendekatan secara tradisional ini dilakukan dengan melatih pikiran, menumbuhkan kemampuan berpikir logis, dan menanamkan sikap berbudaya seperti pada umumnya.
            Inti dari kurikulum pendidikan Esensialisme adalah ilmu pengetahuan, keterampilan, dan prestasi akademik dengan penekanan pada pengajaran standar moral dan intelektual. Kurikulum Esensialisme berpusat pada mata pelajaran (subject-matter centered) dan area-area yang tercakup adalah pengetahuan lingkungan sekitar, hukum-hukum dasar alam, dan disiplin-disiplin ilmu yang dapat menumbuhkembangkan kehidupan manusia yang terdidik dan bahagia. Siswa juga dididik untuk bersikap disiplin, bekerja keras, dan menghormati otoritas.
Keterampilan-keterampilan inti yang harus dikuasai siswa adalah menulis, membaca, berbicara, dan berhitung. Kemampuan-kemampuan ini kemudian menjadi dasar untuk seorang siswa memperluas pengetahuannya dalam matematika, sains, sejarah, humaniora, seni, bahasa dan sastra. Area-area pendidikan yang bersifat lebih progresif juga dapat diajarkan untuk menyeimbangkan program pendidikannya, sehingga lebih sesuai dengan konteks dan kebutuhan zaman. Sebagai contoh, mata pelajaran yang belakangan muncul dan juga diajarkan adalah ilmu komputer.

c.       Peran Sekolah dan Guru
Peranan sekolah  adalah memelihara dan menyampaikan warisan budaya dan sejarah pada generasi muda dewasa ini, melalui hikmat dan pengalaman yang terakumulasi dari disiplin tradisional. Kontribusi sekolah terutama bagaimana merancang sasaran mata pelajaran sedemikian rupa sehingga tujuan pelajaran dapat dipertanggung jawabkan yang akhirnya dapat mempersiapkan manusia untuk hidup.
Sekolah mempunyai fungsi yang bersifat praktis, yaitu mempersiapkan siswanya menjadi anggota masyarakat yang berguna. Pendidikan sekolah harus membekali siswa-siswanya dengan pengajaran yang logis dan objektif, yang mempersiapkan mereka untuk hidup bermasyarakat. Tugas sebuah sekolah “hanyalah” melatih siswa untuk terampil dalam kemampuan-kemampuan dasar, seperti membaca, menulis, berbicara, berhitung, dan berpikir secara logis sesuai dengan realita objektif, yaitu sesuai dengan kebutuhan dunia di luar sana. Oleh karena itu, sekolah tidak seharusnya memengaruhi atau menetapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat subjektif (misalnya, pandangan politik dan agama) pada siswanya.
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam pendidikan Esensialisme. Guru dianggap sebagai seseorang yang menguasai lapangan subyek khusus dan merupakan model yang sangat baik untuk digugu dan ditiru. Guru berperan sebagai pemimpin, pelaksana, dan penerjemah dalam proses pembelajaran. Kurikulum dan lingkungan belajar sepenuhnya dirancang dan disusun oleh guru. Kita dapat melihat, bahwa pendidikan Esensialisme adalah model pendidikan yang berpusat pada guru (teacher-centered).
Guru adalah pusat di dalam kelas dan bertanggung jawab, bukan hanya dalam memberikan pengajaran, tetapi juga di dalam menegakkan peraturan. Ketertiban dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kelas karena proses belajar tidak akan dapat berlangsung jika kelas tidak tertib dan ribut. Maka seorang guru harus dapat menunjukkan sikap tegas dan disiplin kepada murid-muridnya. Ia haruslah dapat memegang kendali atas kelasnya dan membentuk cara murid-muridnya bersikap dalam kelas, cara yang dapat ditempuh misalnya adalah dengan memberikan penguatan (reinforcement) berupa imbalan (reward) dan hukuman (punishment).
Dalam pembentukan karakter, guru bertugas untuk mendorong siswa tetap bersikap disiplin, aktif bekerja, dan produktif, serta mengurangi sikap agresi dan acuh tak acuh, yang dapat mengurangi produktivitas siswa.
Dengan demikian, seorang guru dalam filsafat pendidikan Esensialisme haruslah seorang individu yang memiliki kualitas yang sangat baik, memiliki sikap menghargai proses belajar dan perkembangan.

C.    Core Knowledge Schools
Core Knowledge Schools adalah sekolah-sekolah yang didirikan dengan menerapkan filsafat pendidikan Esensialisme. Pendiri dari gerakan Core Knowledge Schools ini adalah Eric Donald Hirsch, Jr., seorang pakar pendidikan berkebangsaan Amerika Serikat. Core Knowledge Foundation didirikan oleh Hirsch pada tahun 1986 dengan visi untuk memberikan kualitas pendidikan yang baik secara merata kepada semua anak, dari berbagai latar belakang, sejak dini.
Pendekatan yang dilakukan oleh Core Knowledge adalah dengan menerapkan pendidikan umum secara bertahap, tingkat demi tingkat. Anak-anak diharapkan dapat membangun pengetahuannya sedikit demi sedikit. Hal ini dipandang sebagai sistem pendidikan yang lebih stabil dan adil bagi anak-anak usia dini dengan latar belakang yang berbeda karena adanya kurikulum yang lebih terstruktur, spesifik, dan bertahap.
Kurikulum Core Knowledge dimulai dari Taman Kanak-Kanak sampai dengan kelas 8. Penyusunan kurikulum ini ditekankan pada hal-hal penting yang harus dikuasai oleh siswa untuk menjadi seorang individu yang berbudaya. Kurikulum Core Knowledge dikerjakan dengan asumsi bahwa anak-anak mampu belajar dengan membangun pengetahuannya yang baru di atas dasar pengetahuan yang sudah mereka miliki, yang didapatnya dari pengalaman langsung atau pengajaran. Maka kurikulum Core Knowledge disusun secara koheren dan berkesinambungan dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain. Setiap anak akan mendapat pengajaran-pengajaran dasar sains, prinsip-prinsip dasar pemerintahan, peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah dunia, elemen-elemen esensial dari matematika, karya-karya agung seni rupa dan musik dari seluruh dunia, juga literatur-literatur (puisi dan prosa) yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi.
Kurikulum Core Knowledge memberikan alur yang jelas untuk keseluruhan tingkatan dari prasekolah sampai kelas 8, dan juga tujuan pembelajaran yang harus dicapai untuk setiap tingkatannya sehingga pengetahuan, bahasa, dan keterampilan siswa dibangun secara kumulatif dari tahun ke tahun. Pendekatan seperti ini akan memperlengkapi siswa dengan keterampilan dan dasar pengetahuan yang kuat untuk mempelajari ilmu dan keterampilan yang baru di tingkatan selanjutnya. Pendekatan ini juga dinilai lebih efektif karena mengantisipasi kemungkinan pengulangan-pengulangan materi yang tidak perlu ataupun lubang-lubang dalam struktur pengetahuan yang diajarkan.
Walaupun sudah ada inti kurikulum yang baku, pendekatan Core Knowledge memberikan ruang kepada sekolah dan guru untuk menyusun beberapa aspek materi ajar sesuai dengan konteks lokal-nasional dan kebutuhan siswa sekolah tersebut. Guru juga diberikan kebebasan untuk menggunakan macam-macam teknik untuk mengajari konten ilmu dan keterampilan yang sudah disusun kepada siswanya.
Core Knowledge kurikulum ini sudah diterapkan di sekolah-sekolah pada banyak negara bagian Amerika Serikat. 44% sekolah publik, 35% sekolah semi-publik atau charter, 15% sekolah swasta, dan 6% sekolah parokial di Amerika Serikat sudah bekerja sama dengan Core Knowledge Foundation dan menerapkan kurikulumnya sejak April 2006.
Salah satu negara yang juga menerapkan sistem pendidikan dengan Core Knowledge ini adalah negara Inggris, dengan kerja sama yayasan pendidikan Civitas. Kerja sama ini disebut juga Core Knowledge UK, dimana kurikulum Core Knowledge digunakan dengan beberapa adaptasi terhadap kebudayaan nasional Inggris. Core Knowledge UK juga menerbitkan buku teksnya sendiri untuk digunakan oleh sekolah-sekolahnya, yaitu seri What Your Year … Child Needs to Know. Buku ini memberikan tuntunan kepada guru, orang tua, atau wali murid untuk menolong anak-anak mereka berhasil di sekolah.

D.    Kritik terhadap Esensialisme

a.      Kritik positif
Filsafat pendidikan Esensialisme adalah filsafat yang menumbuhkan stabilitas. Bentuk pendidikannya pun adalah bentuk pendidikan yang sangat konsisten karena mengandalkan nilai-nilai budaya yang telah teruji dan stabil. Pengajaran disiplin ilmunya juga dilakukan dengan metode yang bersifat progresif (bertahap) dan konsisten sehingga siswa dapat membangun struktur pengetahuannya sedikit demi sedikit dengan sistematis. Dengan adanya program pendidikan yang mantap, pelaksanaan pendidikan tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh trend pendidikan yang muncul sementara waktu. Siswa juga diarahkan menjadi warga masyarakat yang memiliki nasionalisme, berbudaya, dan produktif.
b.      Kritik negatif
Pendidikan Esensialisme dipandang terlalu berpusat pada guru sehingga peran siswa dalam proses pembelajaran sering dipertanyakan. Peran guru yang terlalu dominan dalam menyusun dan melaksanakan keseluruhan proses pembelajaran dianggap dapat mematikan minat siswa terhadap proses belajarnya sendiri. Siswa yang selalu berada dalam pengkondisian guru juga dapat menjadi pasif, dalam arti hanya menerima informasi dan mengikuti saja standar-standar yang ditetapkan oleh guru tanpa merasa memiliki relevansi atau minat sama sekali. Juga muncul spekulasi bahwa penerapan pendidikan Esensialisme yang menekankan pewarisan budaya dapat menghambat perkembangan budaya karena dianggap mematikan kreativitas siswa.
Namun penelitian yang dilakukan terhadap hasil belajar anak-anak di sekolah yang menerapkan kurikulum Core Knowledge di Inggris menunjukkan hasil yang baik secara akademis, dimana hasil belajarnya berada atas rata-rata nasional (60% atau ke atas), khususnya untuk anak-anak selain ras kulit putih. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan Core Knowledge tampaknya berhasil meningkatkan pemerataan pendidikan. Sistem pendidikan Esensialisme juga tidak selalu mematikan kreativitas siswa, sebaliknya ada dampak-dampak positif terhadap kreativitas siswa di beberapa area.



Bab III
KESIMPULAN
Prinsip – prinsip pendidikan esensialisme adalah sebagai berikut :
1.      Pendidikan tidak timbul begitu saja pada diri seorang siswa namun harus merupakan merupakan usaha keras mereka.
2.      Inisiatif pendidikan ditekankan pada diri guru dan bukan pada diri siswa, sehingga guru dituntut untuk memiliki kualitas dan penguasaan subjek pelajaran yang baik.
3.      Inti proses pendidikan adalah asimilasi dari mata pelajaran yang telah ditentukan. Kurikulum diorganisasikan dan direncanakan dengan sistematis oleh sekolah dan guru.
4.      Metode-metode tradisional yang bertautan dengan disiplin mental harus dipertahankan oleh sekolah.
5.      Tujuan akhir dari pendidikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum yang merupakan tuntutan demokrasi yang nyata.
Pengaruh baik dari pendidikan Esensialisme terhadap dunia pendidikan adalah:
1.      Penyajian kembali materi kurikulum secara tegas.
2.      Membedakan program-program di sekolah secara esensial, baik secara konten maupun tingkatan.
3.      Mengangkat kembali wibawa guru dalam kelas yang telah kehilangan wibawanya oleh progresivisme.


REFERENSI
Sadulloh, Uyoh. 2009. Pengantar Filsafat Pendidikan. Alfabeta: Bandung.
en.wikipedia.org/wiki/Core_Knowledge_Foundation
http://www.coreknowledge.org/mimik/mimik_uploads/documents/31/CK_National_Study_2004.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar